Keuangan Mikro

Setelah membaca koran kompas hari ini (29 Juli 2008), saya jadi teringat kembali perihal keuangan mikro.

Di artikel tersebut diceritakan bahwa, keuangan mikro pernah menjadi agenda global yang dicanangkan oleh PBB. Masih di artikel tersebut, diceritakan sebuah peristiwa besar bagi kredit mikro dunia, yaitu sebuah even bertajuk Microcredit Summit digelar di Washington DC, Amerika Serikat.

Bahkan disana pulalah, rumusan keuangan mikro dibidani menjadi empat aspek (kriteria).
1. Pertama, keuangan mikro harus menjangkau lapisan masyarakat termiskin
2. Kedua, menjangkau dan memberdayakan perempuan
3. Ketiga, membangun kelembagaan yang berkelanjutan secara financial, dan
4. Keempat, dampak kegiatan tersebut dapat diukur (measureable).

Dan kemarin (28 Juli 2008 ) Bapak Boediono (yang kini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia) mengutip kembali inti “kriteria kredit mikro” tersebut pada pembukaan The Asia-Pasific Regional Microcredit Summit (APRMS) 2008 di Nusa Dua, Bali.

Sampai saat ini banyak rencana-rencana besar digemakan ke seluruh negeri perihal keuangan mikro. Namun, hal tersebut masih saja bergerak di jajaran ide dan rencana (atau sekedar seremoni – mengutip istilah kompas).

Padahal potensi keuangan mikro di Indonesia sangatlah besar, yaitu sekitar 41.800.000 entitas usaha (informasi ini saya sandarkan pada info di Kompas, 29/07/08).
Jika saja potensi keuangan mikro ini dapat dimanfaatkan dengan baik tentunya akaan sangat membantu perbaikan ekonomi Indonesia.
Dengan berkembangnya usaha-usaha tersebut tentunya akan membawa lapangan kerja baru.
Orang yang bekerja tersebut akan turut menafkahi keluarganya, sehingga jumlah keluarga miskin berkurang, kekurangan gizi dapat dicegah, dan entah apalagi dampak domino positif lain yang akan dihasilkan.
Bahkan, banyak sekali progran-program pemerintah yang akan sangat terbantu dengan turut mendukung perbaikan-perbaikan di zona keuangan orang kecil ini.
Sebut saja pemberantasan kemiskinan, perbaikan kesehatan, dan pendidikan.
Bahkan, dalam tataran struktur budaya akan terjadi pergeseran, yaitu masyarakat Indonesia tidak lagi bermental pekerja tapi juga berjiwa wirausaha.
Sekitar tahun 2005, saat saya ingin kembali ke Jakarta dari Medan kampung halaman saya, dengan menumpang sebuah maskapai penerbangan swasta, saya kebetulan duduk disamping seorang Abang yang hendak safar ke Jakarta pula.
Singkat cerita terjadilah perbincangan diantara kami.
Dari percakapan itu pula saya mengetahui bahwa dia adalah seorang pegawai Bank Rakyat Indonesia, di  unit kecil di sebuah kabupaten di Aceh.
Kami bertukar kisah, apa saja, apapun yang terpikir, aku tumpahkan saja dalam percakapan itu. Latar keturunan Aceh-ku makin membuatku ingin sekali menggali keadaan masyarakat disana.
Maklum sudah belasan tahun tak pernah kulihat lagi bumi serambi mekkah itu, bahkan setelah tsunami menyapu semua. Sama sekali tak pernah.

Si Abang bercerita tentang nasabah-nasabah yang datang ke bank tempat dia bekerja tersebut, ada petani, pegawai negeri, pedagang kecil, ada pula profesi lain dari golongan menengah.
“Banyak ragam” kurang lebih begitu cakap si Abang.

Kami masih bertukar cerita, betapa besarnya potensi nasabah di ruang keuangan mikro dari kacamata pegawai sebuah “bank kecil tapi besar”.
Dia juga bertutur tentang seorang temannya yang sempat berkuliah di Amerika Serikat hanya untuk menggayung ilmu micro credit (finance).
Setelah sampai disana, seorang dosen berkata bahwa negara dengan entitas usaha keuangan mikro terbesar di dunia adalah INDONESIA.
“Alamak!”.”Sejak kapan ikan belajar berenang dari Gajah?” pikirku. Jauh-jauh ke Amerika untuk belajar sesuatu yang banyak di Indonesia. Mungkin inilah maksud dari kalimat “Indonesia laboratorium keuangan mikro dunia” yang keberadaannya telah lebih dari 100 tahun, di artikel kompas tersebut.

Saya akan berandai-andai lagi, jika bank perkreditan rakyat yang ada di Indonesia memiliki kekuatan dan invoasi dalam memasuki pasar keuangan mikro dengan sungguh, maka Nobel Perdamaian 2006 tidak akan diberikan kepada Muhammad Yunus, tetapi akan disuguhkan kepada satu diantara pemain di ladang keuangan mikro Indonesia.
Tanpa bermaksud merendahkan beliau, tapi kita tahu Muhammad Yunus hanya mengurusi sepetak warga kumuh di Bangladesh. Yang pastinya tak lebih luas dari petak-petak kumuh di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar (meskipun tingkat kepadatan penduduk disana lebih tinggi dari Indonesia).
Karena itulah, bangsa ini akan merasa masih kekurangan jika dan hanya jika kita memiliki satu Yunus. “Karena kita perlu banyak Muhammad Yunus untuk membangun keuangan mikro Indonesia, kawan!”.

Satu Tanggapan

  1. pertamaxxx…..

Tinggalkan komentar